Halonusantara.id, Samarinda — Pelaksanaan program bantuan pendidikan tinggi “GratisPol” yang diinisiasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) menuai sejumlah tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan kewenangan daerah dalam pengelolaan bantuan pendidikan tinggi yang berada di bawah otoritas kementerian.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, menyebut hambatan utama terletak pada regulasi dan struktur kewenangan yang belum sejalan antara pemerintah daerah dan pusat.
“Masalah utamanya adalah soal kewenangan. Jika bantuan disalurkan untuk SMA atau SMK, itu lebih sederhana karena menjadi kewenangan provinsi. Tapi kalau bantuan ditujukan ke lembaga pendidikan tinggi yang berada di bawah kementerian, maka prosesnya harus menyesuaikan aturan dari pemerintah pusat,” ujar Darlis
Menurut Darlis, mekanisme hibah yang sebelumnya digunakan dalam penyaluran bantuan memiliki keterbatasan baik dari sisi regulasi maupun kesinambungan, terutama jika diberikan kepada lembaga pendidikan swasta.
“Pergub saat ini hanya bisa mengatur sampai batas tertentu. Karena itu, bantuan pendidikan ini ke depan perlu diperkuat dalam bentuk peraturan daerah (Perda), agar memiliki dasar hukum yang lebih kuat dan jangkauan pelaksanaan yang lebih luas,” kata dia.
Ia menekankan pentingnya penguatan regulasi dalam menyambut pembahasan APBD 2026, agar bantuan pendidikan bisa dirancang lebih komprehensif, termasuk membangun sinergi antara pemprov dan kementerian terkait.
“Dengan regulasi yang lebih solid dan koordinasi yang lebih intens dengan Kementerian Ristek dan lembaga pendidikan tinggi, hambatan-hambatan teknis maupun administratif bisa diminimalisasi,” ujar Darlis.
DPRD Kaltim melalui Komisi IV pun berkomitmen untuk mengawal penyusunan regulasi yang mendukung keberlanjutan program bantuan pendidikan tinggi, agar tetap relevan dan tepat sasaran seiring dinamika kebijakan pusat dan daerah. (Eby/Adv)

