Halonusantara.id, Samarinda — Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur kembali menjadi sorotan. Kota Samarinda mencatat angka tertinggi sepanjang tahun 2024 hingga pertengahan 2025, memunculkan kekhawatiran akan belum meratanya penanganan di wilayah lain, terutama di daerah terpencil.
Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menilai bahwa tingginya angka di Samarinda bisa jadi disebabkan oleh kemudahan pelaporan dan akses informasi, yang tidak dimiliki oleh daerah lain.
“Angka kekerasan di Samarinda mungkin lebih tinggi karena faktor eksposur, banyak kasus di daerah terpencil mungkin tak terlaporkan,” jelasnya.
Hasanuddin atau yang akrab disapa Hamas, mendorong adanya sistem perlindungan yang inklusif dan menyeluruh. Ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat dalam membangun sistem yang responsif terhadap korban kekerasan.
“Kita tak boleh hanya fokus pada daerah dengan kasus menonjol, sistem perlindungan harus diperkuat di seluruh Kaltim,” terang Hamas.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), pada tahun 2024 tercatat 1.002 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim. Samarinda menempati posisi teratas dengan 175 kasus kekerasan terhadap anak dan 103 kasus terhadap perempuan. Tren ini berlanjut di tahun 2025 dengan total 341 kasus hingga awal Mei. Samarinda kembali mencatat angka tertinggi, khususnya pada anak usia 13–17 tahun dan perempuan usia 25–44 tahun.
Kasus-kasus tersebut mayoritas terjadi di ranah domestik. Sepanjang 2024, Samarinda melaporkan 83 kasus kekerasan terhadap anak dan 74 kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam lingkungan rumah tangga.
Dengan kondisi ini, dorongan untuk pemerataan perlindungan dan penanganan kasus kekerasan menjadi semakin mendesak, demi memastikan bahwa tidak ada korban yang luput dari perhatian hanya karena tinggal di wilayah yang jauh dari pusat kota. (Eby/Adv)