Halonusantara.id, Kutai Kartanegara – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara (Kukar), Ahmad Yani, menyampaikan tantangan besar dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Pesut Mahakam.
Ia menilai, hingga saat ini belum tersedia referensi maupun acuan teknis yang memadai, baik di tingkat daerah maupun nasional. Menurut Yani, kekosongan data dan minimnya kajian ilmiah menjadi hambatan utama dalam merumuskan substansi perda yang efektif.
“Masalah utamanya adalah kita belum memiliki studi yang cukup mendalam mengenai tata kelola perlindungan pesut. Bahkan di Indonesia belum ada contoh nyata yang bisa kita jadikan rujukan,” ujarnya kepada awak media.
Ia menambahkan, jika ingin serius mengembangkan regulasi tersebut, pihaknya perlu menengok praktik konservasi di luar negeri. Di beberapa negara, spesies serupa dengan Pesut Mahakam dikelola secara sistematis dan berkelanjutan.
“Kalau mau belajar, memang harus ke luar negeri. Di sana pengelolaannya sudah jauh lebih baik dan bisa menjadi bahan pembelajaran,” tuturnya.
Yani mengakui, hingga kini masih banyak aspek teknis yang belum tergambar jelas dalam naskah Raperda. Misalnya, metode pelestarian, pembagian peran antar instansi, hingga mekanisme pendanaan.
“Kita belum punya gambaran konkret soal bagaimana memelihara pesut, bagaimana peran pemerintah, dan bagaimana pendanaan bisa dijalankan. Selama ini hanya sebatas wacana,” ucapnya.
Untuk memperkuat landasan hukum, DPRD Kukar mendorong penambahan naskah akademik yang lebih komprehensif. Hal ini diperlukan untuk meyakinkan semua pihak bahwa perlindungan Pesut Mahakam bukan hanya tanggung jawab daerah, tapi juga provinsi dan pemerintah pusat.
Yani juga menyoroti pentingnya peran sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya dalam Raperda ini. Ia berharap regulasi yang tengah disusun dapat mendorong keterlibatan lebih luas dalam konservasi spesies endemik Sungai Mahakam tersebut.
“Raperda ini harus mengakomodasi peran perusahaan dan stakeholder lain. Karena tanpa dukungan lintas sektor, konservasi tidak akan berjalan efektif,” tegasnya.
Ia menegaskan, meskipun raperda ini sudah lama digagas, pihaknya belum dapat melanjutkan pembahasan tanpa adanya kajian tambahan, termasuk studi banding ke daerah atau negara yang telah sukses mengelola spesies pesut.
“Kita perlu referensi baru agar pasal-pasal dalam Raperda bisa benar-benar diimplementasikan. Tanpa itu, regulasi hanya akan menjadi dokumen tanpa dampak nyata,” pungkasnya. (Hf/Adv)

