Halonusantara.id, Samarinda – Kasus yang terjadi di salah satu panti sosial Samarinda kembali mengungkap lemahnya sistem perlindungan anak di daerah. DPRD menilai momentum ini harus dijadikan bahan evaluasi serius untuk memperkuat layanan sosial, terutama bagi anak terlantar dan anak berkebutuhan khusus.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menilai momen ini harus dijadikan langkah awal untuk memperkuat layanan sosial, terutama bagi anak terlantar dan anak dengan kebutuhan khusus.
“Masalah ini jangan ditutup-tutupi. Harus dibuka dan menjadi perhatian pemerintah kota, provinsi, hingga pusat,” ujar Puji.
Puji menekankan bahwa keterbukaan informasi dan pengawasan publik akan mempercepat lahirnya kebijakan yang sesuai dengan kondisi di lapangan.
Ia mendorong agar Samarinda memiliki fasilitas sosial yang lebih lengkap, seperti panti khusus anak berkebutuhan khusus serta rumah aman dengan pendampingan jangka panjang.
“Dari kasus ini, kita bisa dorong berdirinya panti khusus dan memperluas kapasitas rumah perlindungan sosial agar bisa melayani lebih banyak warga yang membutuhkan,” jelasnya.
Meski begitu, Puji menyoroti kendala aturan, terutama terkait pembatasan masa tinggal anak di rumah singgah hanya 15 hari. Ia menilai ketentuan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan riil penanganan kasus.
“Batasan ini tidak sesuai realitas. Anak korban kekerasan atau terlantar butuh penanganan intensif dan berkelanjutan, bukan sekadar hitungan hari,” tegasnya.
Puji juga menambahkan, kewenangan pembangunan panti sosial berada pada pemerintah provinsi, sehingga ruang gerak pemerintah kota terbatas meski masyarakat tetap menuntut tanggung jawab langsung.
“Ketika kasus terjadi di sini, masyarakat meminta pertanggungjawaban kepada kota, tapi kita terkendala alat dan kewenangan,” ungkapnya.
Karena itu, DPRD Samarinda mendorong Kementerian Sosial membuka ruang fleksibilitas kebijakan. Dengan kewenangan yang lebih longgar, pemerintah daerah diharapkan mampu bertindak cepat menangani kasus perlindungan anak tanpa harus terhambat proses birokrasi. (Eby/Adv)