Halonusantara.id, Samarinda – Masyarakat pesisir Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, dihebohkan dengan dugaan pencemaran lingkungan akibat jebolnya penampungan limbah alat pengeboran PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS). Insiden ini menyebabkan budidaya kerang dara terhenti, mengakibatkan kerugian besar bagi para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut.
Salah satu nelayan, M. Yusuf, mengungkapkan bahwa sekitar 299 nelayan dari enam desa di Kecamatan Muara Badak terdampak langsung oleh kejadian ini. “Gagal panen sampai 800 ton dan kerugian diperkirakan sampai 50 miliar. Kami juga sudah ekspor sampai Bangkok, Thailand,” ujarnya. (pusaranmedia.com)
Dampak pencemaran ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menghambat aktivitas masyarakat pesisir dalam membudidayakan kerang dara. Ratusan masyarakat telah melakukan beberapa kali aksi unjuk rasa, menuntut kejelasan dari pihak perusahaan yang hingga saat ini belum memberikan respon positif.
Menyoroti hal tersebut, Ketua Ikatan Sarjana Perikanan Provinsi Kalimantan Timur (ISPIKANI Kaltim), Sinar Alam, menyayangkan belum adanya klarifikasi resmi dari PT PHSS terkait kejadian ini. Hal ini disampaikannya setelah menerima aduan dari masyarakat yang hingga kini belum bisa kembali melaksanakan aktivitas budidaya kerang dara.
“Kami sangat menyayangkan kurangnya respons dari PT PHSS. Seharusnya, sebagai perusahaan besar, mereka segera memberikan penjelasan terkait kejadian ini, termasuk langkah-langkah yang akan mereka tempuh untuk menangani dampaknya,” ujar Sinar Alam.
“Kami juga meminta pemerintah daerah dan instansi terkait untuk segera turun tangan, melakukan investigasi, dan memastikan ada solusi nyata bagi masyarakat terdampak,” tambahnya.
Senada dengan itu, Ketua Maritim Muda Kalimantan Timur, Riduan, turut menyuarakan aspirasi masyarakat. Jika benar hal tersebut terjadi aras kelalaian perusahaan, Ia mempertanyakan bagaimana standar operasional perusahaan sehingga kejadian ini bisa terjadi.
“Jika hal ini benar adanya, ini perlu dievaluasi oleh pihak PT PHSS. Bagaimana sistem pengelolaan limbah mereka? Apakah sudah sesuai standar? Ini yang perlu dijelaskan kepada publik,” ujarnya.
Dirinya juga meminta pemerintah provinsi untuk segera mengambil langkah konkret dalam menangani persoalan ini, termasuk menegur PT PHSS agar segera memberikan klarifikasi dan langkah mitigasi yang jelas.
“Kasus ini bukan hanya soal ganti rugi bagi nelayan, tetapi juga tentang keberlanjutan ekosistem laut. Jika ada pencemaran dan tidak segera ditangani dengan serius, dampaknya bisa jauh lebih luas dan merugikan lingkungan dalam jangka panjang,” tegasnya.(Hn/Eby/Ragam)