Halonusantara.id, Samarinda – Wacana penerapan jam malam bagi pelajar kembali mencuat di Kota Tepian. Usulan ini datang dari anggota DPRD Kota Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie, yang prihatin dengan maraknya aktivitas remaja hingga larut malam di luar rumah. Bukan hanya soal waktu, fenomena ini dianggap berpotensi menimbulkan berbagai persoalan sosial, mulai dari kenakalan remaja hingga pelanggaran hukum.
Dalam keterangannya, Novan menilai fenomena pelajar yang kerap terlihat nongkrong hingga malam hari, terutama di pusat-pusat keramaian dan warung kopi, bukan sekadar kebiasaan biasa. Hal ini menurutnya mengindikasikan lemahnya kontrol lingkungan terhadap generasi muda.
“Belum sampai ke tahap penerapan karena memang belum bisa disebut darurat. Tapi ini perlu menjadi perhatian serius. Kita harus pikirkan solusi sejak dini agar jangan sampai kecolongan,” ujarnya
Novan menekankan, bukan berarti jam malam akan langsung diberlakukan secara ketat. Namun, ia mendorong adanya kajian komprehensif yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan pihak kepolisian untuk memetakan akar masalah dan solusi terbaik.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa lingkungan yang tidak sehat bisa menjadi pemicu meningkatnya kenakalan remaja. Mulai dari pergaulan bebas, penyalahgunaan gadget, hingga potensi penyimpangan lainnya.
“Salah satu faktornya tentu adalah pengawasan yang longgar, baik dari keluarga maupun dari lingkungan sekitar. Padahal, saat ini tantangan yang dihadapi pelajar jauh lebih kompleks,” tambahnya.
Meski belum mengarah ke kebijakan yang bersifat represif, Novan menilai perlu adanya tindakan persuasif dari seluruh elemen masyarakat. Terutama, peran orang tua sebagai benteng utama pembentukan karakter anak.
“Kalau anak sudah berada di luar jam normal, orang tua harus lebih proaktif. Komunikasi dalam keluarga sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab pada anak,” tegas politisi muda itu.
Ia juga mengimbau pihak sekolah untuk turut mengambil peran aktif, bukan hanya dalam pengawasan saat jam belajar, tapi juga melalui kegiatan ekstrakurikuler atau pembinaan moral yang rutin.
Di akhir keterangannya, Novan menyatakan bahwa apapun bentuk kebijakan nantinya, pemahaman mendalam terhadap latar belakang perilaku remaja harus menjadi titik tolak. Pendekatan yang manusiawi dan edukatif dinilai lebih efektif dibanding hanya mengandalkan aturan keras.
“Kita tidak bisa serta-merta memberi label negatif pada mereka. Kita harus gali apa yang sebenarnya terjadi. Apakah karena tekanan sosial, masalah keluarga, atau faktor lainnya. Itu semua butuh kajian sebelum membuat aturan,” pungkasnya. (EP/Adv)